TEORI-TEORI SISTEM PEMBUKTIAN
Daftar Isi
Ada beberapa sistem atau teori
pembuktian, yaitu antara lain:
1) Sistem Atau Teori Pembuktian
Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya
terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada
penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau
dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Dan
keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.
Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak
yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti
tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan
bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.
Sistem pembuktian conviction in time banyak digunakan oleh negara-negara yang
menggunakan sistem peradilan juri (jury
rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.
2) Sistem Atau Teori Pembuktian
Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang
Logis (Conviction In Raisone)
Sistem pembuktian Convition In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan
hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi
keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis,
diterima oleh akal pikiran yang sehat.
Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah
karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan
oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar
ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan
hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.
Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi
oleh “reasoning” atau alasan-alasan. Dan reasoning itu sendiri harus pula
“reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan
nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem
pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.
3) Sistem Atau Teori Pembuktian
Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk)
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan
sistem pembuktian conviction in time,
karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan
kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat
dipakai membuktikan kesalahan terdakwa.
Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama
sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan
kesalahan yang dilakukan kepada terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di
persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah
menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi
cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka
terdakwatersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem
pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa
dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut
cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang.
Sistem pembuktian positif yang dicari adalah
kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum
acara perdata
4) Sistem Atau Teori Pembuktian
Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang
berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut
didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang
merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh
undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani)
dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan
terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan
causal (sebab akibat).
Oleh karena itu, walaupun
kesalahan terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah
menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan
terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya meskipun hakim
yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas
alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan
kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem
pembuktian peradilan pidana di Indonesia.
Posting Komentar