PRINSIP PENYALURAN DANA (LANDING) PADA BANK SYARIAH
Daftar Isi
Prinsip penyaluran dana (landing) pada bank syariah
harus tetap berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Bank
Indonesia. Oleh karena itu, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon
nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan penyaluran
dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Bentuk penyaluran dana atau
pembiayaan yang dilakukan bank syariah
dalam melaksanakan operasinya menurut Siamat secara garis besar dapat dibedakan
ke dalam 4 kelompok sebagai berikut :
2. Prinsip
bagi hasil
3. Prinsip
sewa menyewa (ijarah)
4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
1. Prinsip Jual Beli (Bai’)
Dalam penerapan prinsip syariah terdapat 3 jenis prinsip jual beli (bai’) yang banyak dikembangkan oleh perbankan syariah dalam kegiatan pembiayaan modal kerja dan produksi, yaitu bai’ al- murabahah, bai’ as-salam
dan bai’ al-istishna. Bai’ al-murabahah
pada dasarnya adalah transaksi jual beli barang dengan tambahan keuntungan yang
disepakati. Untuk memenuhi kebutuhan barang oleh nasabahnya, bank membeli
barang dari supplier sesuai dengan
spesifikasi barang yang dipesan atau dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual
kembali barang tersebut kepada nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang
disepakati. Nasabah sebagai pembeli dalam hal ini dapat memilih jenis transaksi
tunai, cicilan, atau angguhan. Umumnya, nasabah memilih metode pembayaran
secara cicilan. Adapun bai’ as-salam adalah pembelian suatu
barang yang penyerahannya dilakukan kemudian hari sedangkan pembayarannya
dilaksanakan di muka secara tunai. Bai’
as-salam dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka
pendek untuk produksi agribisnis atau hasil pertanian atau hasil industri
lainnya. Bai’ al-istishna pada
dasarnya merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dengan
pembayaran di muka, baik dilakukan dengan cara tunai, cicil, atau ditangguhkan.
Untuk melaksanakan skim bai’ al-istishna
kontrak dilakukan di tempat pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Pembuat barang dapat saja membuat barang yang dipesan atau dibeli sesuai
spesifikasi pesanan yang disebutkan dalam kontrak kemudian menjualnya kembali
kepada pembeli. Prinsip bai’ al- istishna
ini menyerupai bai’ as-salam, namun
dalam istishna pembayarannya dapat
dilakukan di muka, dicicil, atau ditangguhkan. Sementara dalam skim bai’ assalam dilakukan secara tunai.
2. Prinsip bagi hasil
Bagi hasil atau profit
sharing dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah terdiri dari empat jenis akad, yaitu al-mudharabah, al-musyarakah,
al-muzara’ah, dan al-musaqah. Namun yang paling banyak
diimplementasikan dalam perbankan syariah
adalah dua prinsip bagi hasil pertama, yaitu al-mudharabah dan al-musyarakah. Oleh karena itu, yang akan dibahas
hanyalah prinsip bagi hasil dengan akad al-mudharabah
dan al-musyarakah.
a. Al-Musyarakah
Antonio mendefinisikan al-musyarakah secara singkat namun jelas, yaitu akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
An-Nabhani mengemukakan bahwa menurut
makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang
bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Musyarakah dalam perbankan biasanya
diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Modal yang disetor bisa
berupa uang, barang perdagangan (trading
asset), property, equipment, atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwill), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan
uang. Semua modal digabung untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak
turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Prinsip al-musyarakah
(al-musyarakah aqad) menurut Siamat
dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
1. Syirkah al’inan
Yaitu perjanjian
kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak menyerahkan
suatu bagian/porsi modal dan ikut aktif dalam usaha/kerja. Porsi setoran modal masing-masing dibagi sesuai
kesepakatan, dan tidak harus sama besar. Demikian pula keuntungan atau kerugian
yang terjadi jumlahnya tidak harus sama dan dilakukan berdasarkan kontrak atau
perjanjian.
2. Syirkah Mufawadhah
Yaitu perjanjian
kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak menyerahkan
bagian modal yang jumlahnya sama besar dan ikut berpartisipasi dalam pekerjaan.
Demikian pula tanggung jawab dan beban utang dibagi oleh
masing-masing pihak.
3. Syirkah
A’mal (Syirkah Abdan atau Sanaa’i)
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih
yang memiliki keahlian atau profesi yang sama untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dimana keuntungan dibagi bersama.
4. Syirkah Wujuh
Yaitu perjanjian kerjasama
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memiliki reputasi dan
kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.
5.
Syirkah
Al-Mudharabah
Yaitu perjanjian
kerjasama antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang satu menyediakan dana
dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian. Beberapa ahli fiqih
berpendapat bahwa al-mudharabah tidak
dikelompokkan ke dalam prinsip al-musyarakah
b.
Al- Mudharabah
Al-Mudharabah
pada dasarnya adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih di mana
salah satu pihak menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau
keahlian. Antonio mendefinisikan al-mudharabah sebagai suatu perjanjian
kerjasama antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik modal atau shahibul maal) menyediakan seluruh
kebutuhan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha yang
diperoleh akan dibagi berdasarkan perjanjian atau kesepakatan. Sebaliknya
apabila usaha mengalami kerugian yang disebabkan bukan karena kesalahan atau
kelalaian pihak pengelola (mudharib),
kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pemilik modal (shahibul maal).
Siamat
mengemukakan bahwa prinsip al- mudharabah
dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu al-mudharabah
muthlaqah dan al-mudharabah
muqayyadah. Implementasi konsep al-mudharabah
muthlaqah dalam perbankan syariah
diatur sebagai berikut:
1.
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah
selaku pengelola modal harus berupa uang tunai. Apabila modal diserahkan secara bertahap, tahapannya
harus jelas dan disepakati bersama.
2.
Hasil
dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah
diperhitungkan dengan cara:
- Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
- Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada
setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung
seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah,
seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana.
4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun
tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera
janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban, atau menunda
pembayaran kewajiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Karakteristik mudharabah
muqayyadah dalam penerapannya di dalam perbankan syariah pada dasarnya sama dengan persyaratan mudharabah mutlaqah bagi perbankan syariah yang telah dijelaskan di atas. Perbedaannya adalah
penyediaan modal yang hanya untuk kegiatan tertentu dan dengan syarat yang
sepenuhnya ditetapkan oleh bank sebagai shahibul
maal.
3. Prinsip Sewa Menyewa
Sewa menyewa pada dasarnya merupakan transaksi sewa guna
usaha atau leasing. Oleh karena itu
sebagaimana dalam praktek, sewa guna usaha bisa dalam bentuk sewa guna usaha
dengan hak opsi atau financial lease
dan sewa guna usaha tanpa hak opsi atau operating
lease. Dalam syariah Islam prinsip sewa menyewa ini dibedakan berdasarkan
akad, yaitu al-ijarah dan al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik.
Al-Ijarah adalah perjanjian
pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu barang atau jasa dengan membayar
sewa untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan
atas barang tersebut. Al-Ijarah
al-Muntahiya Bittamlik adalah akad atau perjanjian yang merupakan kombinasi
antara jual-beli dan sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah di
mana nasabah (penyewa) diberi hak untuk membeli atau memiliki obyek sewa pada
akhir akad.
4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad al-Qardh
Antonio memberikan pengertian al-qardh sebagai pemberian harta kepada orang lain yang dapat
ditagih atau diminta kembali. Dengan kata lain qardh berarti meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Penerapan
prinsip al-qardh dalam perbankan syariah
biasanya dilakukan kepada orang atau nasabah yang sangat memerlukan dana,
terutama kepada nasabah yang kurang mampu atau usaha kecil. Pinjaman yang
diberikan tidak disertai tambahan. namun biasanya bank mengenakan uang
administrasi yang nilainya relatif kecil dan meminta jaminan.
Posting Komentar