PENGERTIAN PERKOSAAN
Daftar Isi
Kita
akan membicarakan tentang pengertian perkosaan. Kejahatan perkosaan dalam kosa kata bahasa Indonesia
berasal dari kata perkosaan yang berarti “menundukkan dengan kekerasan, memaksa
dengan kekerasan atau menggagahi” Berdasarkan pengertian tersebut maka
perkosaan mempunyai makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan
sexual (sexual intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain
seperti pelanggaran hak asasi manusia yang lainnya.
Menurut Soetardjo Wignjo Soebroto yang dimaksud dengan
perkosaan adalah
suatu usaha melampiaskan nafsu seksual seorang laki-laki
terhadap seorang perempuan yang menurut moral atau hukum yang berlaku adalah
melanggar. Dalam pengertian demikian bahwa apa yang dimaksud perkosaan di satu
pihak dapat dilihat sebagai suatu perbuatan (yaitu perbuatan seorang secara
paksa hendak melampiaskan nafsu seksualnya) dan di lain pihak dapat dilihat
sebagai suatu peristiwa pelanggaran norma serta tertib sosial.
Berdasarkan pengertian perkosaan tersebut diatas, menunjukkan
bahwa perkosaan merupakan bentuk perbuatan pemaksaan kehendak laki-laki
terhadap perempuan yang berkaitan atau ditujukan pada pelampiasan nafsu
seksual. Perbuatan ini dengan sendirinya baik secara moral maupun hukum melanggar norma kesopanan
dan norma kesusilaan di masyarakat. Terhadap hal ini adalah wajar dan bahkan
keharusan untuk menjadikan perbuatan perkosaan sebagai suatu tindak pidana yang
diatur bentuk perbuatan dan pemidanannya dalam hukum pidana materiil yang
berlaku.
Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan
Dalam KUHP
Mengenai tindak pidana perkosaan atau verkrachting,
ketentuan yang mengatur mengenai bentuk perbuatan dan pemidanaannya terdapat
dalam pasal 285 KUHP. Dirumuskan dalam pasal tersebut : “Barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”
Berdasarkan rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal
285 KUHP tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana perkosaan adalah
sebagai berikut:
- Perbuatannya : memaksa,
- Caranya : 1) dengan kekerasan,
2) dengan ancaman kekerasan;
- seorang wanita bukan istrinya;
- bersetubuh dengan dia.
Penjelasan unsur-unsur tindak pidana perkosaan diatas
sebagai berikut:
- Yang dimaksud dengan perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain itu, agar kehendak orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian ini pada intinya bahwa memaksa berarti di luar kehendak dari seseorang atau bertentangan dengan kehendak seseorang tersebut.
Satochid Kartanegara menyatakan : “perbuatan memaksa ini
haruslah ditafsirkan sebagai perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan
rasa takut pada orang lain”36).
Memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan
ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita “menjadi terpaksa” bersedia mengadakan
hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian “memaksa” seorang wanita
mengadakan hubungan kelamin, walaupun yang menanggalkan semua pakaian yang
dikenakan oleh wanita adalah wanita itu sendiri.
- Kekerasan (geweld) merupakan salah satu cara memaksa dalam Pasal 285 disamping cara memaksa lainnya yaitu dengan menggunakan ancaman kekerasan. Undang-undang tidak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “kekerasan”, hanya dalam Pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan. Disebutkan : “Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.”
Beberapa pakar memberikan pengertian kekerasan sebagai
berikut : Menurut
R. Soesilo kekerasan ialah “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang
tidak kecil secara tidak syah”. Sedangkan Satochid mengartikan kekerasan adalah
“setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak
ringan atau agak berat”.
Secara lebih
khusus, Adami Chazawi memberikan pengertian kekerasan dalam Pasal 285 sebagai
berikut : “Kekerasan yaitu suatu cara/upaya berbuat (sifatnya abstrak) yang
ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan
menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi
orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik”. Sifat kekerasan itu sendiri
adalah abstrak, maksudnya ialah wujud konkritnya dari cara kekerasan ada
bermacam-macam yang tidak terbatas. Misalnya memukul dengan kayu, menempeleng,
menusuk, dan lain sebagainya.
Mengenai maksud
dari ancaman kekerasan (bedreiging met geweld), undang-undang juga tidak
memberikan penjelasannya. Namun dalam arrest Hoge Raad tanggal 5 Januari 1914
dan tanggal 18 Oktober 1915 mengenai “ancaman kekerasan” disyaratkan :
a)
bahwa
ancaman harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat
menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan tersebut
benar-benar akan merugikan kebebasan pribadinya,
b)
bahwa
maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti yang
diancamkan.
Menurut Adami Chazawi, ancaman kekerasan diartikan yaitu :“ancaman
kekerasan fisik yang ditujukan pada
orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik, perbuatan fisik mana
dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang
besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan dan mungkin segera
dilakukan/diwujudkan kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil
sebagaimana yang diinginkan pelaku”.
Kekerasan atau ancaman kekerasan pada pasal 285 KUHP, ditujukan terhadap
wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga tidak dimungkinkan
baginya untuk berbuat lain selain membiarkan tubuhnya untuk disetubuhi. Antara
kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan terdapat hubungan kausal, dan
karena tidak berdaya inilah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi sebenarnya
terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa
dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan tersebut.
c. Mengenai wanita
bukan isterinya, disini persetubuhan dilakukan terhadap perempuan yang bukan
istrinya. Ditentukannya hal tersebut karena perbuatan bersetubuh dimaksudkan
sebagai perbuatan yang hanya dilakukan antara suami isteri dalam perkawinan.
d. Menurut M.H.
Tirtamidjaja “mengadakan hubungan kelamin” atau “bersetubuh” berati persentuhan
sebelah dalam kemaluan laki-laki dan perempuan yang pada umumnya dapat
menimbulkan kehamilan, tidak perlu telah terjadi pengeluaran mani dalam
kemaluan si perempuan.
Menurut Kedokteran
Forensik, persetubuhan didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana terjadi
penetrasi penis ke dalam vagina, penetrasi tersebut dapat lengkap atau tidak
lengkap dan dengan atau tanpa disertai ejakulasi.
Pada saat ini
pengertian “bersetubuh” diartikan bila penis telah masuk (penetrasi) ke dalam
vagina.
Berdasarkan
unsur-unsur tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP diatas, perkosaan
tidaklah disebut perkosaan apabila tidak terbukti adanya persetubuhan, padahal
untuk membuktikan adanya persetubuhan sangat sulit terlebih apabila korban
sudah pernah menikah atau bukan gadis lagi (tidak virgin). Apabila dalam suatu
kasus yang diduga sebagai perkosaan ternyata tidak terbukti adanya
persetubuhan, kasus tersebut dapat diarahkan pada tindak pidana pencabulan
dimana dalam tindak pidana tersebut tidak disyaratkan adanya persetubuhan.
Posting Komentar