PEMBAGIAN KEKUASAAN DI INDONESIA
Daftar Isi
Kita akan berbicara tentang pembagian kekuasaan di
Indonesia. Kecenderungan negara demokrasi modern dalam
merefleksi kedaulatan rakyat dengan
sistem perwakilan, artinya rakyat memilih seseorang yang dipercaya untuk
mewakili dirinya. Robert Dahl melihat
bahwa pemerintahan rakyat dalam sekala besar (negara bangsa) hanya dapat
dibentuk dengan sistem perwakilan sebagai bentuk pemerintahan yang demokratis,
pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.
Sri
Sumantri, dalam kontek yang sama berpendapat bahwa, dengan masih menganut paham
kedaulatan rakyat harus dicari suatu sistem yang sesuai untuk membicarakan
masalah kenegaraan dan kemudian mengambil keputusan bagi negara yang memiliki
jumlah rakyat warga negaranya besar seperti Indonesia. Adapun sistem yang
dianut di negara Republik Indonesia ialah yang diatur dalam UUD 1945.
Negara
Indonesia menganut paham kedaulatan
rakyat, hal ini dapat kita lihat dalam
Pancasila dan UUD 1945. Sila keempat dari Pancasila, yakni menyebutkan
"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan". Dalam pancasila konsep kerakyatan dapat
diartikan sebagai pentingnya suara-suara rakyat di politik. Konsep kerakyatan
juga bermakna adanya kekuasaan rakyat untuk mengawasi dan berpartisipasi dalam
pengabilan keputusan publik. Dengan demikian konsep kerakyatan identik konsep
kedaulatan rakyat. Sedangkan prinsip kedaulatan rakyat di dalam UUD 1945
setelah perubahan ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa
"Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh Undang-Undang
Dasar". Hal ini merupakan Perubahan mendasar mengenai paham kedaulatan
rakyat dimana dalam naskah sebelumnya menyebutkan "Kedaulatan ada ditangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat".
Kedaulatan rakyat yang semula dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Perwakilan
Rakyat (MPR) sebagai lembaga kekuasaan negara tertinggi (Supermacy of the People’s
Consultative Assembly) kini pelaksanaannya diserahkan kepada UUD. Dengan
demikian dalam kosep teoritik, UUD sebagai hukum fundamental (grundnorm),
merupakan kristalisasi dari kesepakatan rakyat (kontrak sosial) sebagai
pemegang kedaulatan tetang bagai mana mereka hidup dalam manifestasi
kedaulatannya. Kemudian UUD yang menjadi instrument hukum dasar rakyat dan juga
pemegang kedaulatan, untuk seterusnya mendelegasikan kekuasaan berupa
kewenangan kepada lembaga negara untuk menjalankan roda negara.
Perubahan
atau Amandemen UUD 1945 selain telah merubah pemahaman baru tentang kedaulatan
rakyat juga telah merubah secara mendasar bangunan Sistem pemerintahan di
Indonesia. Amandemen[1]
sendiri dilakukan secara bertahap dengan Sistem adendum terhadap UUD 1945:
Amandemen ke-1 (19 Oktober 1999), Amandemen ke-2 (18 Agustus 2000), Amandemen
ke-3 (10 November 2001), Amandemen ke-4 (10 Agustus 2002). Sedangkan UUD 1945
sebelum perubahan terdiri 16 bab dan 37 pasal. Jika dihitung dalam
bagian-bagian terkecil terdiri 65 butir termasuk didalamnya bab, pasal, ayat,
dapat dikatakan UUD tersimple di dunia. Dari 37 pasal UUD 1945 yang asli hanya
lima pasal yang tidak di sentuh perubahan, yakni Pasal 4 tentang Kekuasaan
Pemerintahan, Pasal 10 tentang Kekuasaan Presiden memegang Kekuasaan Tertinggi
atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, Pasal 12 tentang
Presiden menyatakan keadaan bahaya, Pasal 22 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu), Pasal 29 tentang Agama, Pasal 35. Dengan
menganalisis dari butir-butir hasil perubahan UUD 1945 yang semula 65 butir
kini bertambah menjadi 197 butir. Dari jumlah itu 20 butir diantaranya tetap,
45 butir diubah, dan 128 butir merupakan tambahan baru.
Hasil
perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR itu sendiri terdapat beberapa lembaga
negara yang di ruduksi kekuasaannya serta ada juga yang di tambah. Di bagian
lain hasil perubahan tersebut juga mengintrodusir adanya lembaga-lembaga baru
dan ada juga lembaga yang di hapus dimana keberadaan lembaga tersebut dirasakan
tidak lagi relevan dengan tuntutan jaman dan kebutuhan demokrasi saat ini.
Lembaga-lembaga demokratis baru yang telah dilahirkan UUD 1945 dan perubahanya
itu antara lain Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makamah Konstitusi, dan Komisi
Yudisial. Sedangkan lembaga yang di hapus dari struktur kenegaraan kita adalah
Dewan Pretimbangan Agung (DPA), Utusan Golongan serta peran Fraksi TNI/Polri
yang sejak Demokrasi Terpimpin tahun 1959 ikut serta dalam kancah percaturan
politik di parlemen. Hal ini semua merupakan kesepakatan bersama untuk
menghadirkan keseimbangan
penyelenggaraan kekuasaan negara, serta dapat menjadi basis arah
terciptanya mekanisme checks and balances di Negara Republik Indonesia.
1. Kekuasaan MPR Setelah Perubahan UUD
1945.
Pasal
1 ayat (2) naskah asli UUD 1945 menyebutkan Kedaulata berada ditangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan dalam
penjelasan naskah asli UUD 1945 disebutkan bahwa MPR memegang kekuasaan negara
tertinggi dan kekuasaannya tidak terbatas, sedangkan Presiden harus menjalankan
haluan negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh MPR. Presiden di
angkat oleh MPR, tunduk dan bertangguang jawab pada MPR. Presiden adalah
mandataris MPR. Presiden wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
Apabila
kita lihat redaksi pada naskah asli dari Pasal 1 ayat (2), dapat kita
interprestasikan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagi pelaksana dari
kedaulatan rakyat itu. Hal ini mengandung arti, bahwa kedaulatan dalam negara
Indonesia tetap berada ditangan rakyat. Menurut Sri Sumantri, bahwa secara
oprasional kedaulatan yang yang di pegang rakyat Indonesia dilaksanakan atau
dilakukan oleh:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam
hal ini MPR adalah pelaksan kedaulatan rakyat atau the legal soverign yang
pertama, yang berposisi sebagi nasional policy
2.
Presiden bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden bersama-sama dengan DPR bersama sama adalah the
legal soverign yang kedua, yang berposisi sebagai public policy.
Sementara
itu Muhamad Yamin menafsirkan kata "sepenuhnya" yang terdapat pada
pasal tersebut diatas berarti MPR memegang kekuasaan tertinggi dan bulat
scmpurna. MPR adalah badan yang paling tinggi dalam Republik Indonesia.
Kekuasaan ini kemudian dibagi-bagi kepada lembaga-lembaga negara. Anggota MPR
juga boleh dipilih, ditunjuk atau diangkat.
Perubahan
UUD 1945 mengubah Pasal 1 ayat (2) itu menjadi Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu ditafsirkan oleh
beberapa kalangan termasuk para ahli hukum tata negara bahwa MPR tidak lagi
sebagai lembaga tertinggi negara. Lebih lanjut bahwa MPR adalah lembaga negara
yang tingkatannya sama dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden, DPR,
DPD, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka
saling menyeimbang satu sama lain dalam mekanisme checks and balances. Bahkan
apabila kita lihat Pasal 2 ayat (1) dimana dikatakan Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut oleh
Undang-Undang. Dapat dikatakan MPR tidak lagi menjadi lembaga tinggi negara
karena telah menjadi lembaga dua kamar (bikameral), dengan demikian tidak lebih
hanya dijadikan sidang gabungan (joint session) oleh DPR dan DPD dengan
memiliki kewenangan yang lebih terbatas.
Kewenangan
MPR juga telah dibatasi dalam perubahan UUD 1945. Pada Pasal 3 disebutkan bahwa
MPR hanya berwenang dalam tiga hal. Pertama, mengubah dan menetapkan UUD. Kedua,
melantik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, hanya dapat memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
Dengan
pemahaman baru terhadap paham kedaulatan rakyat itu, maka semua anggota MPR
harus dipilih melalui pemilihan umum. Utusan Golongan tidak lagi memenuhi
kriteria paham kedaulatan hasil dari perubahan UUD 1945 tersebut. Utusan Daerah
sebagai perwakilan aspirasi daerah kini terakomodasi dalam DPD yang juga harus
dipilih melalui pemilihan umum.
Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam studinya mengenai Reposisi
MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia (Semua Harus Terwakili, PSHK,
2000) menyebutkan bahwa ada sedikitnya tiga alasan yang menyebabakan perlunya
penyesuaian terhadap susunan, kedudukan, dan kekuasaan MPR menjadi suatu
lembaga perwakilan rakyat dengan dua kamar (bikameral). Pertama, kebutuhan
dalam pembenahan sistem ketatanegaraan sehubungan dengan berbagai Permasalahan
dalam sistem MPR yang lama. Anggota MPR yang bukan DPR yaitu Utusan Golongan
dan Utusan Daerah tidak berfungsi efektif dan tidak jelas oreientasi
keperwakilannya. MPR mempunyai kekuasaan yang rancu dalam sistem presidensial
karena dapat menjatuhkan presiden dengan mekanisme sidang istimewa. Kedua,
kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah secara setruktural.
Artinya, dengan adanya dewan yang secara khusus mereperentasikan
wilayah-wilayah, maka diharapkan maka kepentingan masyarakat daerah akan
terakomodasikan melalui institusi formal di tingkat nasional. Ketiga, kebutuhan
bagi Indonesia pada saat ini untuk mulai menerapkan Sistem checks and balances
dalam rangka memperbaiki kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokrasi.
Dengan adanya perwakiian rakyat dengan dua kamar, maka diharapkan lembaga ini
akan mampu menjalankan fungsi legislasi dan fungsi kontrolnya dengan lebih
baik.
Posting Komentar