PENDEKATAN ANALISIS SEMIOTIK
Daftar Isi
Sebelum berbicara lebih jauh tentang pendekatan
analisi semiotic, perlu kita pahami bersama bahwa sebagai gambaran awal
analisis ini pun terlahir dari salah satu teori sastra. Pradopo mengartikan Semiotik (semiotika) sebagai ilmu tentang
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial / masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi
analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada
(sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai
makna (Preminger, dkk).
Apabila tanda dapat terbongkar atau makna dapat
ditemukan utuh dan cakrawala harapan pembaca terungkap, hal ini mirip dengan
penelitian dengan menggunakan estetika resptif, maka kiranya penilaian akan
berlaku / putusan yang rasional terhadap karya sastra penyusun beranggapan akan
ditemukan melalui pendekatan semiotik ini.
Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari
kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Secara terminologis, Umberto
Eco mendefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Para pakar susastra
sudah mencoba mendefinisikan semiotik yang berkaitan dengan bidang disiplin
ilmunya tersebut. Dalam konteks susastra, Teeuw memberi batasan semiotik adalah
sebagai tindak komunikasi. Ia kemudian menyempurnakan batasan semiotik itu
sebagai “model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki
untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam
masyarakat manapun.”
Pada perkembangannya semiotik tidak hanya di kaji
di fakultas-fakultas sastra saja, dewasa ini semiotik telah merambah ke kajian
lainnya dalam ilmu-ilmu sosial, bahkan juga sebagai suatu pendekatan. Seperti
di dunia komunikasi belakangan semakin maraknya salah satu dari varian
penelitian kualitatif tersebut. Dalam buku analisis teks media, Alex Sobur
membuka bahasan semiotik sebagai berikut; Semiotik sebagai suatu model dari
ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai hubungan yang memiliki unit
dasar yang disebut dengan “tanda”. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat
tentang keberadaan suatu tanda.
Dikatakannya pula bahwa isi media pada hakikatnya
adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya.
Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga
bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang
realitas tersebut. Akibatnya, media massa mempunyai peluang yang sangat besar
untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang
dikonstruksikan. Setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda,
atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas. (Sobur)
Sudah dikemukakan diatas batasan yang paling jelas
yang diungkapkan oleh Preminger bahwa semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda
mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai
sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai
oleh petanda itu yaitu artinya. Tanda itu tidak satu macam saja, tetapi ada
beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Seorang penafsir
adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang
dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan
dilihat dari jalur logika (Santosa)
Dalam karya sastra, arti bahasa ditentukan atau
disesuaikan oleh konvensi sastra. Tentu saja, karya sastra karena bahannya
bahasa yang sudah mempunyai sistem dan konvensi itu, tidaklah dapat lepas sama
sekali dari sistem bahasa dan artinya. Sastra mempunyai konvensi sendiri di
samping konvensi bahasa. Oleh sebab itu wajarlah bila oleh Preminger konvensi
sastra tersebut disebut konvensi tambahan, yaitu konvensi yang ditambahkan
kepada konvensi bahasa. Untuk membedakan arti bahasa dan arti sastra
dipergunakan istilah arti (meaning) untuk bahasa dan makna (significance) untuk arti sastra. (dalam Pradopo)
Semiotik menjadi pendekatan penting dalam teori
media pada akhir tahun 1960-an, sebagai hasil karya Roland Barthes. Dia
menyatakan bahwa semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Menurutnya,
semiotik adalah “ilmu mengenai bentuk (form)”. Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah
dari isinya (content). Semiotik tidak hanya meneliti mengenai signifier dan signified,
tetapi juga
hubungan yang mengikat mereka..tanda, yang berhubungan secara keseluruhan
(Inglis 1990 dalam Sobur). Teks yang dimaksud Barthes adalah dalam arti luas.
Semiotik dapat meneliti teks dimana tanda-tanda terkodifikasi dalam sebuah
sistem. Dengan demikian, semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks seperti
berita, film, iklan, fashion, fiksi, puisi dan drama.
Bagi seseorang yang tertarik dengan semiotik, maka
tugas utamanya adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena- gejala di
sekelilingnya melalui berbagai “tanda” yang dilihatnya. Tanda sebenarnya
representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : nama
(sebutan), peran, fungsi, tujuan keinginan. Tanda tersebut berada di seluruh
kehidupan manusia, maka ini berarti tanda dapat pula berada pada kebudayaan
manusia, dan menjadi sistem tanda yang digunakannya sebagai pengatur
kehidupannya. Oleh karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda)
sangatlah akrab dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni,
sejarah, ilmu pengetahuan. (Budianto) karya sastra yang besar, misalnya,
merupakan produk strukturisasi dari subjek kolektif (Faruk). Subjek kolektif
itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial,
dan sebagainya (Faruk). Karena itu jelas bahwa segala sesuatu dapat menjadi
tanda. C.S Peirce menegaskan bahwa kita hanya berpikir dengan sarana tanda.
Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi (dalam Sobur,)
(Sumber
tulisan : Budianta, Melani dkk, Membaca Sastra; Pengantar Memahami Sastra
Untuk Perguruan Tinggi, Indonesia Tera, Magelang, 2002.
Faruk,
Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai
Post-Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
Sobur,
Alex, Analisis Teks Media: Suatu
Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001. )