KEDUDUKAN ESTETIKA DALAM ILMU KOMUNIKASI
Daftar Isi
Estetika dalam Ilmu Komunikasi |
Sebelum beranjak lebih jauh kepada pengertian estetika itu sendiri, ada baiknya kita menelaah kedudukan dari estetika didalam ilmu komunikasi. Di dalam ilmu komunikasi kedudukan estetika dalam ilmu komunikasi dibahas spesifik pada kajian filsafat komunikasi.
”Filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang
menelaah pemahaman (verstehen) secara fundamental, metodologis, sistematis,
analistis, kritis, dan holistis teori dan proses komunikasi meliputi segala
dimensi menurut bidangnya, sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya,
tekniknya, dan metodenya.” (Effendy, 1993)
Istilah
estetika berasal dari bahasa latin “aestheticus” atau bahasa Yunani
“aestheticos” yang bersumber dari kata “aithe” yang berarti merasa.
“Estetika dapat didefinisikan sebagai susunan
bagian dari sesuatu yang mengandung pola. Pola mana mempersatukan bagian-bagian
tersebut yang mengandung keselarasan dari unsur-unsurnya, sehingga menimbulkan
keindahan.” (Effendy, 1993)
Terdapat
beragam ajaran klasik mengenai estetika yang perlu dimuatkan sebagai landasan
penelitian ini, namun sebisa mungkin tidak terlalu menyimpang jauh dari tujuan
komunikasi dan metode analisis, sebagai berikut.
Pandangan
Plato tentang keindahan dapat dibagi menjadi dua. Yang satu tentang dunia idea,
sedangkan yang lain nampaknya lebih membatasi diri pada dunia yang nyata.
Pandangan kedua menyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah
yang paling sesderhana, yang dimaksud “sederhana” adalah bentuk dan ukuran yang
tidak diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang “lebih sederhana”
lagi. Oleh karena itu, keindahan semacam itu bersifat terpilah-pilah. Keindahan
semacam itu hanya dapat ditunjukkan, misalnya warna merah. Kendati begitu, yang
majemuk juga dapat dialami sebagai sesuatu yang indah, jika tersusun secara
harmonis berdasarkan sesuatu yang betul-betul sederhana. Pandangan yang kedua
ini punya keistimewaan karena tidak melepaskan diri dari pengalaman inderawi
yang merupakan unsur konstitutif dari pengalaman estetis dan keindahan dalam
pengertian sehari-hari.
Pandangan
lainnya yang mendekati pandangan kedua dari Plato tersebut adalah dari
Aristoteles yang menyebutkan bahwa keindahan menyangkut keseimbangan dan
keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini, menurut Aristoteles,
berlaku untuk benda-benda alam ataupun untuk karya seni buatan manusia. Karya
seni yang dibicarakan Aristoteles terutama karya sastra dan drama. Ia
membicarakan karya drama terutama dalam bentuk tragedi seperti dipentaskan dalam
peran-peran diiringi dengan musik dan tarian, titik pangkal pandangan
Aristoteles ialah bahwa karya seni harus dinilai sebagai suatu tiruan dunia
alamiah dan dunia manusia. Aristoteles tidak menyetujui penilaian negatif Plato
atas karya seni, atas dasar penolakannya terhadap teori idea. Dengan karya
tiruan, Aristoteles tidak memaksudkan sekedar “tiruan belaka”.
Karya
seni diharapkan menjadi lambang atau simbol, yang maknanya harus dapat
ditemukan dan dikenali oleh si penggemar karya seni itu, berdasarkan pengalaman
sendiri, entah ia dalam posisi sebagai pembaca, pemain atau pun penonton
pandangan paling pokok dari ajaran Aristoteles, yaitu Katarsis. Artinya
pemurnian, yang menurutnya adalah tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi.
Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan, keberhasilan, kegagalan
dan kekecewaan harus disusun dan dipentaskan sedemikian rupa sehingga pada
suatu saat secara serempak semuanya tampak logis namun seolah tak terduga.
Kupasan
yang agak mendekati estetika perenungan adalah yang datang dari Plotinos,
Plotinos mendekatkan pengalaman estetis dengan pengalaman religius, bahkan
puncak perkembangan estetis itu sendiri adalah pengalaman religius yang disebut
pengalaman mistik. Sesuai dengan titik awal filsafat Plotinos (emanasi) semua
hal dari Yang Esa dan kembalinya semua itu kepada Yang Esa lagi, titik akhir
pun bukan karunia khusus (rahmat), namun hanya penyelesaian dari yang awal itu.
Meskipun begitu, tidak banyak insan mengalami titik akhir tersebut karena ia
terhambat oleh hyle (materi) yang
kurang mengendalikan diri dalam askesis
(latihan).
Secara
lebih jauh penelitian dengan analisis semiotika ini mendekati segala pemahaman
tentang estetika yang menitik beratkan pada keselarasan, keseimbangan,
keteraturan dan lainya yang menjadi ciri-ciri khas keindahan. Pendapat
Agustinus menyebutkan bahwa kesatuanlah yang menjadi sumber atau dasar
keindahan. Yang lebih khasnya lagi ialah bahwa menurut ia pengamatan mengenai
keindahan mengandaikan dan memuat suatu penilaian. Artinya apabila kita menilai
suatu obyek itu indah, kita mengamatinya sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa
yang seharusnya ada didalamnya, yakni keteraturannya.
Pengertian
berikutnya yang lebih membukakan jalan bagi perkembangan modern, adalah
beberapa rumusan keindahan yang datang dari Thomas Aquinas. Seperti “keindahan
berkaitan dengan pengetahuan; kita menyebut sesuatau indah jika sesuati itu
menyenangkan mata sang pengamat, dan mencoloknya peranan subyek.” Kemudian
“keindahan harus mencakup tiga kualitas; integritas atau kelengkapan..,
proporsisi atau keselarasan yang benar dan cemerlang”. Dan yang terakhir
“keindahan itu terjadi jika pengarahan si subyek muncul lewat kontemplasi atau
pengetahuan inderawi.”
Secara
umum gagasan Thomas merupakan rangkuman segala unsur filsafat keindahan
sebelumnya. Dengan mengajukan peranan dan rasa si subyek dalam proses
terjadinya keindahan, peranan subyek sebenarnya sudah diangkat juga dalam teori
Aristoteles tentang drama. Mereka menggarisbawahi betapa pentingnya pengetahuan
dan pengalaman empiris-apoisteriori yang terjadi dalam diri manusia, yang
merupakan titik awal dari kebesaran suatu karya seni.
Secara umum dapat dikatakan
bahwa selama abad ke 20 ini para filsuf
barat yang membicarakan bidang estetika, cukup memperhatikan apa yang
disebut pengalaman estetis, baik dalam diri si seniman pencipta karya seni
maupun dalam diri para penggemar seni. Terdapat penekanan dalam kesatuan antara
karya seni yang bersangkutan dengan para “pelaku” (pencipta dan penggemar
ataupun pencipta ulang, seperti dalam musik, drama, tarian, malah sastra) :
kedua belah pihak merupakan suatu bagian integral dari karya seni yang ditinjau
dari sudut filsafat, sosiologi, psikologi dan sekarang komunikasi.
Di
bawah ini adalah hubungan logika, etika dan estetika yang dimodifikasi dari
karya A. Ridwan Halim. SH yang dituangkan dalam artikel yang dimuat dalam
majalah Optimis No. 42, dimodifikasi dalam buku Ilmu, Teori dan Filsafat
Komunikasi (Effendy, 2000 : 381).
Dasar Tujuan Nilai Hasil
Logika pikiran kebenaran benar ilmu
atau
salah Penge-
tahuan
Filsafat
Etika kehendak kecocokan baik keserasian
atau
buruk
Estetika
perasaan keindahan indah kesenian
atau
jelek
Diagram 5 : Hubungan
Logika, Etika dan Estetika. Ridwan Halim (Majalah optimis Vol.42, Effendy,
2000: 381)
Digambarkan
dengan jelas, fungsi estetis dengan filsafat komunikasi yang dihasilkan oleh
perasaan yang bertujuan kepada keindahan, dengan hasilnya adalah kesenian,
untuk hal ini adalah teks atau naskah teater sebagai karya kesenian akan
membutuhkan nilai tentang indah atau jeleknya suatu karya.
(Sumber
tulisan : Majalah optimis Vol.42, Effendy, 2000: 381)
Posting Komentar